Sejarah Dan Mata Pencaharian Suku Asli Toraja
Sejarah Dan Mata Pencaharian Suku Asli Toraja - Untuk mata pencaharian masyarakat Toraja ini sebenarnya adalah bercocok tanam padi di sawah dan juga di sawah. Selain padi, mereka juga menanam jagung, sayuran, singkong, ubi jalar, kopi, cengkeh, kelapa, serta markisa.
Dahulu, wilayah Toraja dikenal sebagai penghasil kopi yang berkualitas. Ternak, terutama kerbau dan babi, apalagi hal itu sangat dibutuhkan untuk melengkapi ritual keagamaan mereka, dan juga memelihara ikan di kolam, ayam dan bebek untuk makanan sehari-hari.
Sebelum Orde Baru, perekonomian Toraja bertumpu pada pertanian terasering di lereng pegunungan dan makanan penunjangnya adalah singkong dan jagung.
Orang Toraja menghabiskan banyak waktu dan tenaganya untuk memelihara kerbau, babi, dan ayam, yang terutama dibutuhkan untuk upacara adat dan makanan sehari-hari. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya sistem baru pada tahun 1965, perekonomian Indonesia mulai berkembang dan terbuka terhadap investasi asing. Beberapa perusahaan minyak dan pertambangan multinasional membuka bisnis baru di Indonesia. Banyak orang Toraja, terutama generasi muda, telah pindah bekerja untuk perusahaan asing.
Mereka pergi ke Kalimantan untuk bekerja dibidang kayu dan minyak, ke Papua untuk pertambangan, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Transformasi ini terjadi hingga tahun 1985.
Perekonomian Toraja secara bertahap bergeser ke pariwisata mulai tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, penduduk Toraja memperoleh penghasilan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau juga menjual souvenir.
Munculnya ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) secara signifikan mengurangi pariwisata di Toraja.
Toraja kemudian dikenal sebagai tempat asal kopi Indonesia. Kopi arabika, yang sebagian besar dijalankan oleh pengusaha kecil.
Pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai kawasan pariwisata yang eksotis, dan kaya budaya. Wisatawan Barat didorong untuk mengunjungi desa kuno dan makam kuno.
Toraja adalah tempat kedua bagi wisatawan yang bosan berkunjung ke Bali dan ingin melihat pulau-pulau yang liar dan "belum terjamah". Tetapi orang Toraja merasa bahwa Tongkonan dan ritual Toraja lainnya telah digunakan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan, dan mengeluh bahwa itu telah dikomersialkan secara berlebihan.
Hal ini menyebabkan beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan promotor pariwisata, yang dianggap orang Toraja sebagai orang luar.
Pada awalnya perekonomian masyarakat Toraja hanya bertumpu pada pertanian dan peternakan, dengan terasering di lereng pegunungan yang memungkinkan masyarakat Toraja bercocok tanam.
Keseharian Orang Toraja untuk mendapatkan penghasilan dan juga lauk untuk makan adalah memelihara kerbau, babi, dan ayam, yang mana hal tersebut juga sangat dibutuhkan untuk acara acara adat suka Tana Toraja.
Serta Toraja dikenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik, bahkan kualitasnya sudah diakui oleh dunia. Kopi arabika Toraja adalah kopi yang paling terkenal, terutama dikalangan para pecinta kopi dan senja.
Setelah masa orba, perekonomian Toraja mulai bergeser ke arah pariwisata. Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan Barat. Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia mendeklarasikan Kabupaten Toraja sebagai daerah unggulan Sulawesi Selatan.
Pariwisata telah meningkat secara signifikan: pada tahun 1985, 150.000 wisatawan asing mengunjungi Tana Toraja (di samping 80.000 wisatawan domestik), dan jumlah tahunan pengunjung asing adalah 40.000 pada tahun 1989. Souvenir dijual di Rantepao, pusat budaya Toraja.
Seperti itulah ulasan singkat mengenai Sejarah Dan Mata Pencaharian Suku Asli Toraja dari Tondok Maelo semoga bermanfaat..
Post a Comment for "Sejarah Dan Mata Pencaharian Suku Asli Toraja"
Post a Comment