Cerita Di Balik Passiliran, Pohon Persemayaman Bayi


Cerita dibalik Passiliran daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, adat, bahasa, dan lain-lain. Sabang hingga Merauke, akan memiliki adat istiadat berbeda-beda. Terkadang sama-sama 1 pulau namun ada adat yang berbeda dengan provinsi lain.

Salah satu adat yang akan kita bahas yakni dari daerah Sulawesi Utara, tepatnya Toraja. Pasti sudah tidak asing dengan daerah tersebut. Ketika terdegar suara Toraja, langsung terbayangkan rumah adat Tongkonannya.

Selain rumah adat, Tana Toraja memiliki budaya salah satunya pemakaman bayi Passiliran.

Cerita Dibalik Passiliran, Jenazah Bayi Disemayamkan di Pohon

Passiliran merupakan prosesi pemakaman bayi masyarakat Toraja, yang terletak di desa Kambira. Pemakaman ini berlokasi di sebuah pohon, yaitu tarra. Kalau orang dewasa dimakamkan di goa batu ataupun tebing yang dilubangi, lain hal dengan bayi.

Pohon tarra tersebut berumur ratusan tahun. Tarra adalah jenis pohon yang memiliki kandungan getah putih yang sangat banyak. 
 
Masyarakat sekitar Toraja, getah putih menjadi pengganti ASI bagi bayi yang meninggal. Pohon tarra berukuran sangat besar, memiliki diameter sekitar 80 hingga 100 cm yang akan hanya ditemukan di hutan Desa Kambira.

Pohon Tarra

Pada saat kamu melihat pohon ini, bagian batang akan terlihat lubang-lubang. Ternyata lubang tersebut sengaja dilubangi untuk meletakkan bayi yang meninggal. Lebih tepatnya jenazah bayi dengan posisi berdiri. 
 
Lubang tersebut ditutup dengan ijuk dari pohon enau yang mana jenazah bayi diletakkan menghadap ke arah tempat tinggal keluarga yang ditinggalkan. Satu pohon menampung jenazah bayi dengan jumlah puluhan.

Syarat bayi yang berhak dimakamkan dalam pohon tarra ialah bayi berusia di bawah 6 bulan. Sebab belum memiliki gigi susu, bisa berjalan dan masih ASI pada Ibu.

Kepercayaan cerita dibalik passiliran masyarakat setempat, menganggap bayi dengan ciri-ciri tersebut masih bersih serta suci. Tujuan pemakaman di dalam pohon yaitu guna melindungi roh-roh bayi yang masih suci ini dari pengaruh roh jahat.

Dapat dikatakan juga, pohon tarra merupakan rahim atau rumah baru untuk bayi yang telah meninggal mendahului orang tuanya dan tidak sempat menikmati hidup bersama.

Warga Kambira mempercayai perihal memakamkan jenazah bayi ke dalam pohon tarra dapat menyelamatkan generasi selanjutnya. Dalam artian, ritual tersebut dipercaya mencegah dan mengurangi kematian bayi yang akan datang.

Bayi meninggal yang dimasukkan ke pohon tersebut adalah jenazah masih utuh dan tidak dibungkus dengan balutan apapun. Namun uniknya, tak tercium aroma amis jenazah sedikitpun dari pohon-pohon tersebut. Padahal jenazah bayi telah disemayamkan di dalam pohon tersebut.

Setelah 20 tahun yang akan datang, pohon tarra akan kembali mulus dan dapat ditempati jenazah bayi yang lain. Sehingga, masyarakat tidak khawatir kehabisan tempat pemakaman bayi.

Penempatan Jenazah

Posisi penempatan jenazah di tradisi Passiliran ternyata menentukan strata sosial. Semakin tinggi posisi lubang itu bermakna bahwa semakin tinggi pula strata keluarganya. 
 
Cara pemakaman bayi yang disemayamkan pada pohon seperti ini hanya dilakukan pada Toraja saja terkhusus pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur).

Upacara

Upacara pemakaman cerita dibalik Passiliran dilakukan dengan sederhana. Bayi yang meninggal tidak berbalut kain, hal ini diyakini agar seperti di rahim sang ibu. 
 
Ibu pun tidak diperkenankan melihat hingga kurang lebih satu tahun. Hal ini disebabkan agar ibu mendapatkan bayi sehat kelak.

Jika dilihat dari kejauhan, pohon yang penuh dengan tambalan berbentuk kotak hitam. Meskipun banyak lubang, dijadikan makam bayi, pohon tarra hidup layaknya pohon pada umumnya. Pohon tarra tidak boleh ditebang oleh masyarakat Desa Kambira. 
 
Hal ini bertujuan agar tak memutus kelanjutan hidup atau perjalanan si bayi menuju alam baka. Cerita dibalik Passiliran yang mistis namun sudah tertanam pada tradisi budaya Toraja.

Post a Comment for "Cerita Di Balik Passiliran, Pohon Persemayaman Bayi"